Oleh: Ummu Ahmad
’Bakat’ Temperamental
Sewaktu masih dibawah 4 tahun, sifat
temperamental inilah yang senantiasa menjadi PR bagi kami, abi dan uminya untuk
membantu Ahmad bisa mengendalikannya. Ahmad mudah sekali marah dan ’mengambil
tindakan’ kalau menurutnya ada orang lain atau temannya yang ’nakal’. Tentu
’nakal’ di sini adalah sesuai persepsinya sebagai anak kecil (yang daya
nalarnya masih dangkal, egosentrisnya masih tinggi, kualitas pemahamannya masih
sangat sempit). Karena sebenarnya tidak ada anak kecil yang nakal. Yang ada
adalah anak kecil yang aktif atau pendiam, yang berani atau penakut memulai
sesuatu, yang ketrampilan motoriknya berbeda-beda, dan sebagainya. Tetapi itu
semua tidak serta merta bisa menjadikan mereka yang pendiam kita judge sebagai
anak ’baik’ sebaliknya yang sangat aktif sebagai anak ’nakal’. Karena saat itu
mereka belum memiliki pemahaman yang sempurna
yang bisa mereka jadikan sebagai pengikat tingkah laku mereka. Mereka masih
dalam proses belajar mana dan apa sesuatu yang benar dan salah, yang baik atau
buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sehingga memang belum ada
pembebanan hukum atas mereka.
Nah, kembali kepada kemarahan Ahmad
kepada teman atau seseorang yang menurutnya nakal itu adalah bisa jadi karena
hal-hal yang lazimnya terjadi pada anak-anak, seperti rebutan mainan, tidak
sengaja tersenggol temannya, tabrakan ketika berkejaran, diledek dengan sebutan
tertentu, dan semacamnya. Hanya bedanya dengan teman-temannya yang biasanya
menangis ketika mengalami hal yang sama, Ahmad justru marah kepada seseorang
yang menurutnya ’nakal’ tadi. Tidak jarang langsung dipukulnya seseorang
tersebut. Dengan potensi keberanian yang dia punya bahkan dia tidak takut
sekalipun yang dia pukul tubuhnya jauh lebih besar, usianya jauh lebih tua atau
tidak. Biasanya hal tersebut bisa dicegah kalau ’kejadian’ yang membuat marah
Ahmad tadi, kami, gurunya atau orang lain ketahui sebelum Ahmad melampiaskan
kemarahannya, sehingga bisa disampaikan kepada Ahmad ’tafsir kejadian’ tadi
dengan arif. Misalnya bahwa tadi Ahmad ketabrak temannya yang sedang lari-lari,
hingga jatuh itu karena tidak sengaja, bahwa mainan Ahmad bukan direbut tapi
cuman mau dilihat sebentar, bahwa temannya bukan mau melempar Ahmad tapi
bolanya terbang terbawa angin yang keras hingga mengenai Ahmad, bahwa harusnya
Ahmad lebih hati-hati, meminta maaf, atau memaafkan temannya dan seterusnya.
Tapi tentu saja, tidak semua yang terjadi ketika anak-anak tersebut bergaul dan
bermain dalam kekuasaan pengawasan kita.
Sehingga di sinilah sebenarnya kearifan kita sebagai orang dewasa dalam menyikapi apa yang terjadi diantara mereka sangat dibutuhkan.
Sehingga di sinilah sebenarnya kearifan kita sebagai orang dewasa dalam menyikapi apa yang terjadi diantara mereka sangat dibutuhkan.
Yang harus kita pahami, bahwa
’pertengkaran’ atau ’permusuhan’ diantara mereka (anak-anak kita) sebenarnya
tidaklah ada. Mereka bahkan belum paham apa itu ’musuh’, ’nakal’ dan
’bertengkar’. Bisa jadi seorang ibu yang tidak mau membelikan anaknya permen
agar sang anak tidak sakit radang tenggorokan, dianggap oleh sang anak sebagai
orang nakal dan harus dimusuhi. Justru dengan pertengkaran atau perkelahian-perkelahian
’semu’ itulah mereka akan dibawa pada kematangan emosi yang kelak mereka
butuhkan. Dengan mengenal rasa senang dan sakit pada waktu yang bersamaan itu
pulalah, mereka akan belajar untuk bergaul dengan ’sehat’. Dengan berbagai
pengalaman warna rasa itu pula seorang anak akan belajar tentang kehidupan yang
sesungguhnya dan dipersiapkan untuk menjadi individu yang siap mengarunginya.
Belajar Mengendalikan Diri
Belajar Mengendalikan Diri
Mengendalikan diri tidaklah berarti
tidak boleh marah. Hanya saja marah pun bukan berarti harus berteriak-teriak,
membentak-bentak, mengeluarkan kata-kata tidak pantas atau bahkan melayangkan
cubitan, pukulan atau hal lain yang menyakitkan. Marah di sini adalah ketegasan
untuk menunjukkan bahwa sesuatu ’yang salah’ tidak boleh disetujui dan
dibiarkan, akan tetapi harus ditolak dan diluruskan. Tentu dengan cara yang
membuat kita bisa menyampaikan pesan tersebut kapada anak, dengan kontrol emosi
dan fisik yang harus bagus.
Ketika Ahmad marah, hal pertama yang
harus kami lakukan adalah tidak terpancing memarahinya. Kontrol diri
betul-betul harus terlihat oleh Ahmad. Mulai dari roman muka, mimik, bahasa,
intonasi, hingga bahasa tubuh kami yang lain harus terbaca oleh Ahmad bahwa
kami tidak terpancing ikut marah dan sangat terkendali. Ini tentu bukan perkara
yang begitu saja mudah untuk dilakukan. Kami pun harus belajar melakukannya
dengan kerja keras dalam kondisi apapun (meski adakalanya juga kami
’terpancing’ pada keadaan dan situasi tertentu).
Setelah memastikan kami dalam keadaan pengendalian diri yang benar-benar bagus, biasanya kami menjawab kemarahan Ahmad tersebut dengan kalimat-kalimat berintonasi rendah yang berusaha mengarahkan Ahmad untuk menceritakan kemarahannya dalam bentuk verbal. Kami tanya dia apa yang membuatnya marah dan memberikan penjelasan atau tafsir terbaik dari apa yang ia alami dengan penuh ketelatenan dan yang penting ’tidak menampakkan’ sedikitpun emosi kemarahan. Ketika upaya mengajaknya bicara belum memungkinkan untuk dilakukan karena masih didominasi nafsu amarah, biasanya mendoakannya secara langsung dengan dikeraskan di hadapannya saat itu juga adalah hal yang kami lakukan. Bisa jadi panjang dan macam-macam doa yang kami baca, sambil meredam kemarahan Ahmad. Maka emosi meluap-luap yang tadi ditunjukkan dengan memukul atau membanting sesuatu, atau warna muka memerah dengan pandangan mata yang menantang, juga nafas yang memburu akan berangsur-angsur menghilang tertransfer dalam bentuk kemarahan secara verbal. Dari kemarahan secara verbal yang masih disertai tingginya intonasi bicaranya, perlahan-lahan berubah hanya dalam bentuk content/isi pembicaraannya saja yang menunjukkan dia marah, namun intonasi sudah mulai merendah dan terkontrol. Hingga akhirnya Ahmad bisa untuk kami belai, pangku, berikan pelukan dan ciuman sambil mengajaknya tarik nafas panjang sembari membaca istighfar untuk menyudahi dan menyesali kesalahannya tadi.
Setelah memastikan kami dalam keadaan pengendalian diri yang benar-benar bagus, biasanya kami menjawab kemarahan Ahmad tersebut dengan kalimat-kalimat berintonasi rendah yang berusaha mengarahkan Ahmad untuk menceritakan kemarahannya dalam bentuk verbal. Kami tanya dia apa yang membuatnya marah dan memberikan penjelasan atau tafsir terbaik dari apa yang ia alami dengan penuh ketelatenan dan yang penting ’tidak menampakkan’ sedikitpun emosi kemarahan. Ketika upaya mengajaknya bicara belum memungkinkan untuk dilakukan karena masih didominasi nafsu amarah, biasanya mendoakannya secara langsung dengan dikeraskan di hadapannya saat itu juga adalah hal yang kami lakukan. Bisa jadi panjang dan macam-macam doa yang kami baca, sambil meredam kemarahan Ahmad. Maka emosi meluap-luap yang tadi ditunjukkan dengan memukul atau membanting sesuatu, atau warna muka memerah dengan pandangan mata yang menantang, juga nafas yang memburu akan berangsur-angsur menghilang tertransfer dalam bentuk kemarahan secara verbal. Dari kemarahan secara verbal yang masih disertai tingginya intonasi bicaranya, perlahan-lahan berubah hanya dalam bentuk content/isi pembicaraannya saja yang menunjukkan dia marah, namun intonasi sudah mulai merendah dan terkontrol. Hingga akhirnya Ahmad bisa untuk kami belai, pangku, berikan pelukan dan ciuman sambil mengajaknya tarik nafas panjang sembari membaca istighfar untuk menyudahi dan menyesali kesalahannya tadi.
Dari proses marah hingga bisa
mengendalikan diri yang membutuhkan waktu panjang -di awal-awal kami melatih
pengendalian dirinya-, kini Alhamdulillah Ahmad sudah jauh lebih bagus dan
lebih cepat dalam mengendalikan kemarahannya. Kini ketika dia marah, dia
tunjukkan kemarahannya itu dengan mengatakannya secara verbal (”aku
marah....”), meski kadang masih terlihat roman muka marah di wajahnya. Insya
Allah, dengan bertambahnya mafhum dan ketundukanya pada apa yang dipahaminya,
kemampuan pengendalian diri Ahmad semakin hari semakin baik. Hingga pada
saatnya nanti, dia bisa dengan tepat meletakkan kapan dia boleh dan harus
marah, serta bagaimana mengekspresikan amarahnya tersebut dengan benar. Semoga
kami dimudahkan Allah membantu Ahmad melakukannya. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar