Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Kalau hari ini seseorang mentransfer uang lewat Bank pada pukul 14.30
dari Jakarta ke Jayapura, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat
menggunakan uang itu keesokan harinya. Dan kalau transfer itu dilakukan
pada Jum’at siang, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat
menggunakan uang itu Senin pagi. Hal ini karena perbedaan daerah
waktu. Pada pukul 14:30 di Jakarta (WIB), maka di Jayapura (WIT) sudah
pukul 16:30, dan Bank sudah tutup. Sekalipun sekarang orang bisa
menggunakan ATM atau internet-banking, tetapi tetap saja untuk transaksi
dalam jumlah besar, kliring hanya dapat dilakukan pada jam buka Bank.
Inilah,
dan juga hal-hal sejenis yang terjadi di bursa atau Pasar Modal, yang
mendasari gagasan penyatuan daerah waktu. Ketika WIB, WITA dan WIT
disatukan menjadi Waktu Indonesia (WI), di mana yang dijadikan acuan
adalah WITA, maka jam 8 di Sabang adalah juga jam 8 di Merauke. Eloknya
lagi – menurut penggagasnya – WI ini juga sama dengan waktu Malaysia
dan Singapura yang saat ini sudah sama dengan WITA, yaitu GMT+8. Saat
ini, meski Singapura ada di sebelah barat Batam, tetapi Singapura
menggunakan waktu sejam lebih awal dari Batam. Jadi, bila kita
menggunakan WI, kita tak akan lagi dirugikan secara finansial dari
“ketertinggalan kita dari Singapura”. Selama ini, “di Singapura orang
sudah rajin berdagang, kita baru berangkat ke kantor, atau bahkan masih
tidur…”
Kerugian karena keterlambatan mencairkan transfer atau
mengikuti perdagangan di bursa itu konon bisa bernilai trilyunan Rupiah,
sehingga gagasan penyatuan daerah waktu akan menguntungkan kita
Trilyunan Rupiah. Tetapi benarkah demikian?
Indonesia terbentang
dari Sabang sampai Merauke sejauh 46 derajat Bujur, atau perbedaan waktu
matahari sebesar rata-rata 184 menit. Setiap perbedaan 1 derajat bujur
setara dengan waktu 4 menit. Ini artinya, jam astronomis (yaitu waktu
terbit/terbenam matahari) di Sabang 3 jam 4 menit terlambat dibanding
Merauke.
Jam astronomis ini langsung tampak dalam jadwal sholat
dan puasa yang diikuti umat Muslim yang merupakan 85% rakyat
Indonesia. Dan jam astronomis ini secara tidak langsung akan
berpengaruh pada ritme biologis (yaitu jam tidur dan jam makan) nyaris
seluruh rakyat Indonesia, baik mereka sholat ataupun tidak. Apa ini
artinya?
Kalau Waktu Indonesia diberlakukan dan mengacu pada WITA,
maka perbedaan waktu matahari bagi tempat di ujung barat adalah 92 menit
terlalu akhir, dan bagi tempat di ujung timur adalah 92 menit terlalu
awal.
Secara praktis, dibandingkan dengan zona waktu yang
dipakai sekarang, maka di WIB segalanya menjadi 1 jam terlalu awal.
Kalau biasanya sekolah mulai pukul 7 WIB, dan anak-anak berangkat ke
sekolah pukul 6.30 WIB, maka setelah WI diberlakukan dan jadwal sekolah
tetap, mereka akan berangkat pukul 5.30 WIB. Di wilayah Jabotabek,
pukul 5.30 itu matahari belum terbit! Di Aceh bahkan waktu Shubuh belum
masuk!
Sebaliknya di Papua, sekolah jadi mulai pukul 8 WIT.
Demikian juga, kantor yang semula masuk pukul 8 WIT, menjadi pukul 9
WIT, sudah sangat siang. Kebalikannya, jam pulang yang semula –
misalnya pukul 17 WIT, menjadi pukul 18 WIT. Sudah cukup gelap, dan
mungkin menyulitkan bagi perjalanan di desa-desa pelosok.
Dan kalau
saat ini perkantoran biasa istirahat pukul 12-13 untuk istirahat, sholat
dan makan, dan nanti jam istirahat ini tetap, maka setelah waktu
Indonesia diberlakukan, di bekas WIB, waktu sholat dhuhur baru akan
masuk pukul 13 WI. Kalau mereka menunggu sholat dhuhur, maka mereka
akan terlambat bekerja lagi. Pemborosan. Sementara bila waktu
istirahatnya yang digeser menjadi katakanlah pukul 13-14, sedang masuk
bekerja pukul 8, tentu laparnya sudah sulit tertahankan. Jelas ini
masalah.
Sebenarnyalah, di Malaysia atau Singapura yang zona
waktunya sama dengan WITA, jam kerja dimulai pukul 9, istirahat pukul
12-13, dan pulang kantor pukul 17. Praktis tak ada bedanya dengan WIB.
Jadi ternyata tidak benar mitos bahwa mereka “sudah berdagang, kita
baru berangkat ke kantor”.
Dilihat dari manfaatnya, yang akan
menikmati penyatuan daerah waktu hanya sektor keuangan, yang di
Indonesia jumlahnya hanya 1,5 juta jiwa. Sedang lebih dari seratus juta
orang yang bekerja di sektor lainnya, atau puluhan juta anak sekolah
akan mengalami kesulitan. Kalangan penerbangan konon sudah keberatan
dengan rencana ini karena pasti akan mengalami transisi dengan sekian
banyak persoalan.
Jadi akan lebih bijaksana kalau tidak perlu ada penyatuan daerah waktu, tetapi cukup perubahan jam buka khusus sektor keuangan.
Zona
waktu memang diperlukan ketika dunia sudah terhubung, terutama sejak
ditemukannya telegrafi dan kereta api di akhir abad-19. Tanpa zona
waktu, maka setiap daerah akan memiliki jam sendiri-sendiri, sehingga
pengaturan jadwal kereta api ataupun jam kirim telegrafi antar dua kota
yang berjauhan jadi sangat sulit. Dalam prakteknya, pengaturan zona
waktu itu wajib mempertimbangkan aspek politis, ekonomi, budaya dan
ritme hidup masyarakatnya, termasuk aspek ritual agama.[]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar