Kamis, 12 Juli 2012

Masa balita adalah golden ages


Banyak penelitian menunjukkan betapa masa dini usia, yaitu masa lima tahun ke bawah, merupakan golden ages (masa keemasan) bagi bagi perkembangan kecerdasan anak. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan anak telah mencapai 50%. Seperti diungkapkan Direktur Pendidikan Anak Dini Usia (PADU), Depdiknas, Dr. Gutama, kapasitas kecerdasan itu mencapai 80% di usia 8 tahun. Ini menunjukkan pentingnya memberikan perangsangan pada anak dini usia, sebelum masuk sekolah.
Setiap bayi memiliki potensi milyaran sel otak yang siap mendapat rangsangan. Sentuhan, lingkungan yang ramah otak, dan hands on, adalah beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi otak anak. Sebagian ahli berpendapat, sel otak seorang bayi sebanyak bintang yang bertebaran di langit. Ada pula yang menduga, jumlah sel otak kurang lebih 100 milyar. Seluruh sel ini punya peran penting dalam menunjang fungsi otak sebagai pengatur semua kemampuan manusia di masa dewasa.
Namun, meski ada milyaran sel otak, nyatanya tak semuanya berkembang sempurna, karena amat tergantung pada stimulasi yang diterimanya. Konsultan Keluarga Budi Darmawan, menyatakan stimulasi ini memang amat menentukan sejauh mana jaringan sel-sel otak dapat berkembang. Jika sedikit mendapat stimulasi, bisa jadi yang berkembang hanya 1 persen dari sekian milyar sel otak. Sebaliknya, bila stimulasinya banyak, perkembangannya pun bisa lebih besar lagi.
Maxwell Malt, seorang peneliti asal Amerika mengemukakan pendapatnya tentang hubungan sel otak yang aktif dengan kecerdasan. Bila manusia dapat mengaktifkan sekitar 7 persen saja dari sel otaknya, ujar Malt, maka gambaran kecerdasan orang itu adalah bisa menguasai 12 bahasa dunia, memiliki 5 gelar kesarjanaan, dan hapal ensiklopedi lembar-demi lembar, huruf demi huruf, yang satu setnya terdiri dari beberapa puluh buku. Menanggapi ini, Budi Darmawan menyatakan, “Kalau kemampuan itu digunakan seorang muslim untuk menghapal, tentu dia mampu menghapal Qur’an dan sunnah Rasulullah sekaligus.”
Lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa pesat perkembangan otak hingga masa ini sering disebut sebagai golden periode. Bahkan, anak di usia 5 tahun pertama diketahui punya kemampuan photographic memory, mengingat seperti mata kamera. Di atas lima tahun, kemampuan memorinya menurun. Tidak sehebat dan sepeka di masa keemasan ini.Lebih jauh Emmy Soekresno, Konsultan pendidikan Jerapah Kecil, menjelaskan, meski secara keseluruhan, fungsi otak bekerja bersamaan, namun, ada penekanan-penekanan atau waktu prima (prime time) bagi otak. Misalnya, untuk belajar bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, waktu primanya adalah pada usia 4-12 tahun. Pada usia ini, belajar dengan permainan dan sambil ketawa-ketawa pun, anak sudah bisa bicara bahasa Inggris. Setelah itu, ada second chance, kesempatan kedua untuk belajar, yaitu pada usia 12-15 tahun. Setelah usia 15 tahun, masih bisa belajar bahasa Inggris, tetapi lebih sulit.
Milyaran sel otak ini terbagi dalam beraneka bagian seumpama wadah yang siap diisi. Pada usia 12-13 tahun, akan terjadi pemangkasan sel otak. Pada saat itu, otak akan memeriksa isi otak itu sendiri. Jika ada tempat kosong, misalnya bagian kecerdasan emosi yang tidak pernah dilatih sejak usia 1 hingga 12 tahun, maka bagian itu akan dibuang. Itu sebabnya, target orang tua setiap hari adalah bagaimana caranya mengisi otak dengan maksimal dengan memberi stimuli yang maksimal pula. Meskipun egitu, jangan tergesa-gesa. Bila suatu ketika guru atau orangtua ingin anaknya mampu menulis, membaca dan berhitung di usia dini, sama saja mereka tengah menghilangkan beberapa aspek kehidupan anak. Karena sebelum melakukan ketiga hal tersebut, ada tahapan yang harus dijalani.Sebelum bisa menghitung, anak harus bisa menggambar. Sebelum bisa menggambar, anak harus mampu memegang pensil. Sebelum mampu memegang pensil, maka anak perlu melatih motorik halusnya misalnya dengan bermain pasir. Dengan bermain pasir, anak sesungguhnya sedang menghidupkan otot tangannya dan belajar estimasi dengan menuang atau menakar, yang kelak semua itu ada dalam matematika.
Oleh karena itu, ibarat sebuah bangunan, pondasi amat menentukan kokohnya bangunan tersebut. Bagi anak, menurut Fasli Jalal, PhD, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas, pendidikan di dini usia merupakan pondasi yang amat menentukan perkembangan selanjutnya. Sebab itu ia mengingatkan, “Kalau tidak baik pondasi yang kita bangun di usia dini, bangunan tidak akan kokoh.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
;